Header Ads

Memetik Hikmah Bulan Dzulhijjah di Masa Pandemi

PERTENGAHAN Kamis, 3 Juni 2021 lalu, tepatnya saat konferensi pers di kantor Kementerian Agama Jakarta, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri agama, Menteri Yakut Cholil Qoumas mengumumkan bahwa Pemerintah tidak akan memberangkatkan Jemaah Haji pada tahun 2021 ini. 

----------------------

Artikel kolaborasi majalis.id dan kalselgram.com

Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra

----------------------

(Foto: AFP)

Hal ini tentu menyulut kontroversi, dari penanganan Covid 19, hingga ketidakpercayaaan masyarakat terhadap pengelolaan dana haji oleh pemerintah. Melihat kondisi Covid-19 yang semakin parah dan ditambah dengan varian Delta yang lebih berbahaya, maka dengan mengedepankan maslahat maka pemerintah memilih tidak mengambil resiko. Pembatalan Haji Ini mengingatkan kita pada peristiwa yang sama persis di zaman dahulu, tepatnya pada tahun 749 H/1348-1349 M pada masa pandemi Black Death.

Haji sendiri adalah salah satu pilar agama dan menjadi salah satu ritual wajib (bagi yang mampu) dalam rukun Islam. Ritual ini mengharuskan kita untuk pergi ke kota suci Makkah Al Mukarramah pada bulan dzulhijjah. Orang yang melaksanakan haji haruslah melaksanakan serangkaian kegiatan yang sudah ditentukan kaifiat-nya. Salah satu bagian dari ritual, seperti sa’i, mengajarkan kita makna pengorbanan Sayyidatina Hajar, istri Nabi Ibrahim AS disaat mencarikan air untuk anak semata wayangnya, Nabi Ismail AS. Dalam ibadah haji, kita juga diajarkan untuk memandang manusia dalam kesetaraan. Tak pandang kaya dan miskin, warna kulit hitam atau putih, orang berpangkat atau rakyat jelata, semua berkumpul dalam satu tempat dengan satu seragam : kain ihram putih.

Namun, di balik sederet peristiwa yang menimpa kita, tentu Allah ta’ala menyelipkan ibrah agar kita dapat mengambil pelajaran. Hal ini menjadi bahan instropeksi bagi kita semua. Apakah ibadah yang kita lakukan ini dilakukan hanya untuk memenuhi nafsu ruhani semata? Apakah kita berhaji hanya untuk menunjukkan tingkat kekayaan dan pamor? Apakah kita sudah peduli kepada nasib sesama saudara? Ataukah memang karena maksiat batin tersebut, bahkan Allah ta’ala pun enggan mengundang kita masuk ke rumah-Nya? Jangan sampai kita sudah bersusah payah melaksanakan ibadah, tetapi malah mendapatkan gelar Haji Pengabdi Setan. Gelar itu disematkan oleh KH Ali Mustafa Ya’qub kepada orang yang berhaji 2-3 kali, namun abai dengan kondisi saudara di lingkungannya.

Hal ini pernah dialami oleh Abdullah ibnu Mubarak, seorang tabi’in yang hidup pada awal abad pertama Hijriah. Beliau pernah bermimpi di akhir beliau melaksanakan rukun haji, beliau bermimpi tentang dua malaikat yang sedang berbincang. Singkatnya semua ibadah haji yang dilaksanakan kaum muslimin pada tahun itu awalnya tidak diterima Allah ta’ala. Akan tetapi Allah ta’ala menerima semuanya karena ada satu orang yang diterima hajinya. Singkatnya, orang yang menjadi sebab diterimanya ibadah haji seluruh muslimin di dunia itu malah tidak pergi haji. Orang tersebut menanggalkan impiannya pergi haji karena tabungannya habis untuk diberikan kepada tetangganya yang kelaparan. Ini berarti, walaupun kita tidak jadi mengerjakan ibadah untuk kemaslahatan yang jauh lebih genting, bisa jadi itulah penyebab amalan kita diterima Allah ta’ala.

Selain ibadah haji, bulan Dzulhijjah pun erat kaitannya dengan hari raya Idul Adha. Hari ini bertepatan setelah Jemaah haji wukuf di Padang Arafah. Ibadah itu ialah kurban yang dilaksanakan setelah sholat Idul Adha, hingga tanggal 13 Dzulhijjah saat hari tasyrik terkahir. Ibadah kurban ini diperintahkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya :

Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). (QS. Al-Kautsar ayat 2)

Menurut mazhab Syafi’i, hukum berkurban merupakan sunnah kifayah, artinya apabila dilakukan, akan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak mengapa. Sedangkan dalam mazhab lain, ada yang berpendapat wajib bagi yang mampu. Hal ini dikarenakan perintah kurban dalam surah Al-Kautsar di atas berbentuk fi’il amr. Selain itu, perintah kurban juga bergandengan dengan perintah wajib sebelumnya, yaitu sholat.

Ibadah kurban masih erat kaitannya dengan cerita Nabi Ibrahim AS, yang diminta mengorbankan anak tercintanya, Nabi Ismail AS. Dalam ibadah qurban, kita diajarkan untuk berbagi kepada sesama, mengorbankan sebagian uang kita untuk membeli sapi, kambing, atau hewan qurban lainnya. Kemudian, kita memberikannya kepada sesama kaum muslimin. Tentu kita menginginkan kurban terbaik, agar ibadah kurban kita diterima sebagaimana diterimanya kurban Habil. Perbedaannya ibadah kurban ini dengan kurban yang lain, walaupun diniatkan atas nama Allah ta’ala, namun daging hasil sembelihannya boleh dimakan sebagian dan dibagikan kepada semua kaum muslimin. Berbeda dengan kurban untuk dewa atau alam yang dagingnya tidak boleh dimakan, dibiarkan membusuk, mubazir, dan tidak bermanfaat. Ibadah kurban dalam Islam adalah bentuk ibadah ritual dan sosial sekaligus yang kebermanfaatannya sangat terasa bagi sesama.

Maka dalam masa pandemi ini, hendaklah kita mengambil hikmah ibadah di bulan Dzulhijjah. Pandemi ini dapat kita atasi apabila kita berikhtiar menjaga protokol kesehatan, memupuk solidaritas dan persatuan. Selayaknya ibadah haji yang tidak membedakan harta, pangkat, dan warna kulit, maka implementasi dari perkumpulan haji itu hendaknya diaplikasikan ke tengah masyarakat. Dalam menghadapi pandemi kali ini tentu kita harus mengesampingkan ego dan kepentingan pribadi. Ketika kita menjaga kesehatan, maka niatkan agar orang lain tidak merasa kesusahan karena kita.

Selain kepada orang-orang kaya yang terlalu mementingkan diri sendiri, penulis juga menghimbau kepada pemerintah agar tetap amanah dalam mengelola dana haji. Jangan sampai dana umat diwacanakan untuk menutupi deficit pemerintah, terutama dalam pembangunan infrastruktur. Penanganan haji pun harusnya lebih ditingkatkan. Dengan adanya Dana Abadi Umat (DAU) yang diamanahkan dalam UU No.13 tahun 2008, harusnya pelayanan haji di masa pandemi lebih mudah. Dana umat tentu harus dikembalikan kepada umat. Salah satunya bisa dalam bentuk vaksin gratis dan peningkatan protokol kesehatan bagi jemaah sebagai syarat pemberangkatan haji. Hal ini dapat mengembalikan kepercayaan inyternasional kepada Indonesia dalam masalah pengendalian dan penanganan pandemi Covid-19.

Ibadah kurban juga mengajarkan kita rela berkorban berbagi kepada sesama, terutama ke kaum miskin yang terdampak PPKM. Dengan ikhtiar kita saling menjaga, semoga Allah ta’ala lekas mengangkat wabah bala ini dan mengguyurkan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua. (*)

-----------------------------------------------

(Penulis adalah Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, demisioner Kepala Departemen Keagamaan Badan Eksekutif Mahasiswa ULM 2018, demisioner anggota LDK Unit Kerohanian Mahasiswa Muslim (UKMM) ULM,  anggota Angkatan Muda Masjid As-Sa’adah 2016-2017, Komisi D FSLDK 2020-2021, Founder media dakwah @majalis.id)


Sumber :

Rangkuti, M. Affan. (2016). Bulan Sabit Bintang Lima: Hitam Putih Urusan Haji. Jakarta: Penerbit Expose.

Rasjid, H. Sulaiman. (1994). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Yaqub, Mustafa Ali. (2006). Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Fathurrahman, Oman. (2020). Haji (Batal) di Masa Pandemi. (https://www.republika.co.id/berita/qbbomo282/haji-batal-di-masa-pandemi)

Muhyidin. (2020). Kisah Haji: Mimpi Abdullah bin Mubarak di Masjidil Haram. (https://www.republika.co.id/berita/qigfr3430/kisah-haji-mimpi-abdullah-bin-mubarak-di-masjidil-haram)

Pebrianto, Fajar. (2021). 6 Fakta Pembatalan Haji 2021: Dari Alasan sampai Nasib Dana Jemaah. (https://nasional.tempo.co/read/1468763/6-fakta-pembatalan-haji-2021-dari-alasan-sampai-nasib-dana-jemaah/full&view=ok)

No comments

close
pop up banner