Kolom Dewan Kesenian Banjarmasin: Lamut dan Kelisanan Rakyat Banjar
KONON Lamut yang seorang rakyat biasa itu di suatu waktu bisa saja menjadi panglima perang yang paling perkasa, sementara di lain waktu bisa saja ia menjadi guru bagi pangeran dan rajanya. Ketokohannya yang berbagai-bagai dimensi itu membuat dirinya tak terpisahkan dari arus besar peradaban raja-raja yang berkuasa dan pergaulan multinasional pada masanya. Dan entah karena itu juakah namanya diabadikan sebagai sebentuk pertunjukan tradisional di kalangan masyarakat Banjar.
------------------------------------------------------------
Oleh: Hajriansyah
Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin
------------------------------------------------------------
Lamut sebagai yang dicap sebagai teater tutur, atau kadang
juga disebut sastra lisan, adalah tradisi yang pada mulanya bersandar pada
tradisi tulis juga. Setidaknya begitulah kata Gusti Jamhar Akbar, maestro palamutan yang berdiam di ibukota
provinsi ini. Setidaknya menurut Jamhar, ia mewarisi keahliannya ini dari ayahnya.
Ayahnya dari kakeknya, dan terus sampai ke datunya yang mendapatkan cerita tertulis tentang Lamut ini, yang
pada mulanya berbahasa Cina, dari seorang pedagang Cina.
Beberapa waktu ini (beberapa tahun yang lalu) saya terlibat cukup aktif dalam kegiatan seorang teman yang sedang berusaha meneliti seni Balamut untuk disertasinya. Saya jadi ikutan mendapatkan pengetahuan dengan hanya duduk di sampingnya. Maka, ketika saya membaca buku Peradaban Pesisir-nya Adrian Vickers pikiran saya pun beterbangan ke mana-mana. Termasuk salah satunya mengambang di keasal-usulan budaya yang hari ini kita anggap sebagai budaya asli urang banua ini.
Saya tak ingin mengamini seratus persen pernyataan dalam buku
itu yang mengatakan bahwa perihal asal-usul ini adalah rekonstruksi oleh
Belanda, hingganya demam pascakolonial itu menjadi niscaya. Tapi, lebih baik
kita tinggalkan perbincangan yang spekulatif ini—karena nyatanya saya tak
pernah mengadakan penelitian barang sekalipun.
Jika berbicara tentang seni tradisi, tentang sastra lisan
yang pernah menjadi bagian dari budaya populer kita di suatu waktu lalu, maka
yang tak terhindarkan adalah apa yang saya bayangkan sebagai proses pembentukan
budaya Banjar hari ini, yang menjadi bagian dari ketaksadaran kolektif
sekaligus beberapanya menjadi kesadaran kolektif kita, urang banua.
Menjadi bagian dari ketaksadaran kolektif karena sepanjang ia
dituturkan secara turun temurun, dengan sedikit sekali referensi tertulis,
dalam bentuk kelisanannya maka ia selalu rawan dalam ingatan yang terlampau
pendek—dan kadang-kadang spekulatif juga.
Maka dalam proses mengingat kembali itulah mestinya strategi
kebudayaan kita oleh pihak-pihak yang berkewenangan transkripsi atas budaya
lisan itu menjadi agenda yang harus dikedepankan. Nyatanya, kita sadar
masyarakat kita bukanlah masyarakat yang gemar membaca. Setidaknya begitu kata
para budayawan. Kecuali, untuk bacaan-bacaan praktis orang-orang kita masih memadati
toko-toko buku yang ditata senyaman mungkin. Atau, membaca penggalan-penggalan
berita yang berkelebatan dalam kolom-kolom kecilnya.
Saya selalu mengharapkan ada kajian-kajian yang lebih jauh lagi, yang lebih didekatkan ke “masyarakat pembaca” kita. Makanya, ketika teman yang sedang melakukan penelitian itu mengajak saya nanggap Lamut di Taman Budaya hari selasa, 18 Januari ini, saya serta-merta menyambutnya dengan gembira. Semoga saja kawan-kawan sastrawan yang diundang tak melewatkannya begitu saja, dan bersukarela menjadi bagian, atau agen dari proses transkripsi kelisanan kita yang selalunya berkejaran dengan ingatan yang terlampau pendek.
Best casinos in the world to play blackjack, slots and video
ReplyDeletehari-hari-hari-hotel-casino-online-casinos-in-us · poormansguidetocasinogambling blackjack (blackjack) · roulette (no Blackjack https://septcasino.com/review/merit-casino/ Video Poker septcasino.com · Video casinosites.one Poker · Video herzamanindir Poker · Video poker