Apakah Banjarmasin Perlu Pembangkit Listrik Tenaga Sampah?
JUMLAH sampah di Kota Banjarmasin adalah yang terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Kalimantan Selatan. Maklum saja, jumlah penduduk di kota ini juga merupakan yang paling banyak di Banua. Sejak 2008 muncul ide membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), lalu apakah ide ini sudah relevan jika dilaksanakan di tahun 2021?
------------------------------------------------------
KALSELGRAM.com | Pelopor Media Daring Generasi Z Kalsel
------------------------------------------------------
Mengutip dari Media Indonesia, di 25 November 2016 lalu jajaran Pemko Banjarmasin yang dipimpin Wakil Wali Kota Banjarmasin Hermansyah bertemu dengan perwakilan perusahaan Anhui Energi Environment Protection Power asal Tiongkok di Banjarmasin. Dari pertemuan tersebut pihak perusahaan pembangkit listrik ini menyebut Banjarmasin punya potensi untuk membangun PLTSa.
![]() |
foto: 123RF.COM |
Sebelumnya kerja sama pembangunan PLTSa dengan negara donor dari Jepang dan Swiss sejak 2008, tidak terealisasi. Ini terjadi sebelum era pemerintahan Ibnu Sina dan Hermansyah memimpin kota seribu sungai.
Dari pertemuan tersebut pihak perusahaan pembangkit listrik ini menyebut Banjarmasin punya potensi untuk membangun PLTSa. Rombongan yang dipimpin General Manajer Fang Li ini berkesempatan meninjau lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) Basirih.
Hermansyah mengatakan pihaknya berharap rencana kerja sama pembangunan PLTSa ini dapat terealisasi, karena akan memberi keuntungan berupa pengentasan masalah persampahan dan krisis energi listrik di ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tersebut. Namun pihaknya berharap calon investor asal Tiongkok ini serius untuk membangun PLTSa, karena sudah beberapa kali rencana pembangunan PLTS di Banjarmasin ini gagal terealisasi.
Jika melihat data volume sampah di Banjarmasin, rencana PLTSa ini bisa jadi merupakan salah satu solusi yang menguntungkan. Namun bagaimana jika kita melihat data PLTSa dari daerah lain dan bagaimana biaya operasional serta daya listrik yang dihasilkan. Apakah masih relevan?
Data Volume Sampah di Banjarmasin
Dalam sebuah indepth news yang ditulis oleh tim wartawan Berita Banjarmasin disebutkan data jumlah sampah di Banjarmasin pada tahun 2010. Di tahun 2010 berdasarkan data dari Bappeda Kota Banjarmasin, jumlah sampah di Banjarmasin hanya sekitar 320 ton dalam sehari. Namun jangan kaget, enam tahun setelahnya, jumlah sampah di Banjarmasin meningkat lebih dari 70 persen, mencapai di angka 560 ton sehari.
Itu artinya ada kenaikan 240 ton sampah rata-rata per hari hanya dalam rentang waktu enam tahun saja. Data 2019, jumlah sampah di Banjarmasin sudah menembus 580-600 ton per harinya. Jika kita kalkulasikan dalam sebulan (30 hari) maka Banjarmasin harus menampung sekitar 17.880 ton sampah.
Padahal untuk Kalimantan Selatan saja, jumlah sampah secara keselurahan (data 2017) sebesar 1.127 ton per hari, sama dengan 33.810 ton sampah dalam sebulan. Ini menunjukkan sebuah gambaran, bawah hampir separo dari jumlah keseluruhan sampah di Kalsel ternyata tertumpuk di Banjarmasin.
Di atas kertas, Banjarmasin memiliki 1.300 orang petugas kebersihan yang saban hari berjibaku dengan sampah. Banjarmasin harus menuju good environmental governance dengan standar yang sudah ditetapkan oleh UNEP (United Nations Environment Program). Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Banjarmasin ada 126 tempat penampungan sementara (TPS) dan 11 TPS3R dan tempat pemrosesan akhir (TPA) di kawasan Basirih, Banjarmasin Barat.
Jika kita break down lagi, Banjarmasin memiliki 60 pengangkut sampah, yaitu 19 buah jenis mobil pick up, 34 buah truk dan tujuh sepda motor beroda tiga. Dengan armada ini lah beratus-ratus ton sampah itu diangkut setiap harinya. Rencananya tahun ini Pemkot Banjarmasin akan mengadakan satu buah truk sampah compactor, yang kapasitasnya mampu menampung sampah hingga tiga kali kapasitas armada truk biasa. Hal serupa juga dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi masalah pengangkutan sampah.
Apakah PLTS Masih Relevan?
Saat bertandang ke Indonesia aktivis sekaligus ahli toksikologi dan kimia lingkungan, Paul Connett, merasa sangat sedih dengan ide PLTS yang dianggapnya buruk.
"Di negara seperti Eropa dan Amerika ide dan penerapan Insenerator pada tahun 1997, sekarang sudah ditinggalkan dan tidak relevan," lugasnya pada diskusi solusi Zero Waste yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali, Kamis (16/1/2020) di Rumah Sanur, dikutip dari laman kumparan.
Niat pemerintah Indonesia ditandai dengan penerbitan peraturan pemerintah yang melegitimasi adanya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) seperti Peraturan Presiden (Perpres) no.18 Tahun 2016, Perpres No. 97 Tahun 2017.
Pemerintah sudah mengajukan adanya Insenerator di 12 kota di Indonesia seperti TPA Bandung, Surabaya, Semarang, Solo, Bekasi, Manado, Jakarta, Denpasar, Palembang, Makasar, Tanggerang, dan Kalimantan. Paul datang ke Indonesia dalam rangkaian tur dunianya mengkampanyekan Zero Waste. Kedatangannya tahun 2020. Ini merupakan kali ketiganya ke Indonesia.
Menurutnya, tantangan di abad 20 adalah soal keselamatan dan pada abad 21 yaitu keberlanjutan. Insenerator dianggapnya sama sekali tidak berkelanjutan. Ide ini pun menurutnya merupakan rencana yang sangat salah dan sangat mahal jika dijadikan solusi mengelola sampah yang ada di Indonesia.
“Satu alasan kenapa ide ini sangat buruk adalah karena sampah Indonesia telah bercampur dan tergolong sampah yang basah, sehingga membutuhkan energi yang lebih besar untuk memprosesnya,” tambahnya.
Berdasarkan pemaparannya, insenerator yang ia temui di negara-negara Eropa menghabiskan uang sangat banyak untuk pengoperasiannya. Untuk mencapai standar eropa, setidaknya untuk 1000 ton perhari membutuhkan dana 400 miliar dolar. Ini harus dibayar selama 30 tahun untuk mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan oleh para pengusaha.
Berkaca pada PLTSa Daerah Lain
Berdasarkan riset Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), penerapan teknologi termal untuk mengurangi volume sampah di beberapa kota itu dinilai tidak realistis, mahal dan berpotenai gagal. Dari sisi pembiayaan maupun teknis, rencana tersebut dinilai berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagaj sumber daya material secara berkelanjutan.
Faktanya, sejak Perpres diterbitkan keenam daerah didorong untuk mengembangkan PLTSa belum menunjukkan progres yang signifikan. Riset Walhi juga menyebut kelayakan proyek PLTSa yang akan dibangun itu juga masih menjadi tanda tanya, seperti dilansir dari laman Bisnis.com.
Hal ini juga mendapat respon dari mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Menurut JK, penerapan PLTSa kurang visible, butuh anggaran yang besar.
Apakah Banjarmasin Perlu PLTSa?
Setelah melihat beberapa pendapat dari aktivis dan tokoh di atas, muncul kemudian sebuah pertanyaan, apakah Kota Banjarmasin memerlukan PLTSa? Setidaknya, jika PLTSa ini kemudian kembali digaungkan di 2021, tentu perlu dilakukan riset yang dalam. Apakah itu benar-benar efektif membantu pengelolaan sampah atau tidak. Serta apakah akan menggunakan anggaran yang besar atau tidak.
Dengan riset dan uji publik melibatkan akademisi misalnya, kita bisa melihat apakah Banjarmasin memang memerlukan PLTSa. Sehingga nantinya tidak hanya mengurangi anggaran, namun juga bisa dilihat manfaatnya untuk masyarakat.
Pada dasarnya ide ini berangkat dari niat yang baik, namun tetap saja, niat yang baik juga memerlukan cara yang baik pula. (KALSELGRAM.com)
Post a Comment