Header Ads

Urusan "Selangkangan" dan Pengaruhnya Terhadap Masa Depan Demografi Indonesia


Oleh : Muhammad Sultan Hasan Saputra

Ada ujaran yang menurut penulis sangat lucu ketika meneropong kebelakang aksi menolak R-KUHP, salah satunya yakni aturan tentang perzinahan yang tertuang di dalam naskah akademisnya. Ada banyak pihak terutama dari mahasiswa yang mempertanyakan “Kenapa hubungan ranjang yang private harus diurus negara?” Pertanyaan ini juga kerap digunakan dalam narasi kampanye #sahkanruupks dan menolak #ruuketahanankeluarga. Maka untuk kawan-kawan mahasiswa yang masih bingung, biarkan saya menjawab segala tanya di kepala.

Seks bebas adalah suatu perbuatan yang menistakan sakralitas seks. Hubungan intim yang seharusnya hanya dilakukan oleh sepasang suami istri, sekarang bisa dilakukan bebas dengan siapa saja. Bahkan bukan hanya dengan lawan jenis, bahkan dengan sejenis pun bisa dilaksanakan. Karena sex bebas bisa dilakukan dengan siapa saja tanpa harus terikat dengan seseorang, maka hal ini mempermudah menjalarnya berbagai penyakit. Sudah ramai kita dengar penyakit seperti HIV dan AIDS yang menghantui masyarakat Indonesia bahkan dunia.

Menurut data Kemenkes, sekitar 35 juta warga dunia hidup dengan penyakit HIV. Di Indonesia sendiri, ada lebih dari 48 ribu kasus secara nasional. Angka tersebut juga merupakan fenomena gunung es yang harus dilacak lagi potensi penyebarannya. Angka penurunan penyebaran HIV/AIDS pada tahun 2020 hanya bisa menurun disebabkan pandemic virus Corona. 

Sangat ironi ketika angka penyebaran penyakit karena maksiat harus diturunkan dengan virus penyakit pula. Untuk menghentikan laju virus ini, tentu pengobatan yang diberikan tidaklah murah. Pemerintah mengeluarkan biaya perawatan, termasuk obat untuk ODHA sebesar 400 miliyar rupiah per-tahun. Obat HIV sendiri sering disebut dengan antiretroviral atau ARV. Obat ARV ini masuk ke Indonesia sejak 1997. Pemerintah mulai menyediakan obat ARV secara gratis di akhir tahun 2014 hingga sekarang. Tentu uang sebesar itu bukan biaya yang sedikit, mengingat uang tersebut berasal dari APBD yang dikumpulkan dari pajak masyarakat. Andaikan saja dialokasikan untuk pembangunan di sektor lain, maka akan lebih berguna. 

Kemudian muncul sanggahan, bahwa, "seks bebas bisa dilakukan secara aman dengan menggunakan kondom? Jadinya walaupun ganti-ganti pasangan tetap tidak takut hamil dan terkena penyakit kelamin,” jawab mereka. 

Ada pula yang mnawarkan solusi legalisasi prostitusi yang katanya dapat menekan persebaran HIV/AIDS di Negeri Barat. Walau sepintas ini seperti menyelesaikan masalah, namun ada masalah lain yang lebih besar diakibatkan solusi tersebut. Ancaman berikutnya adalah seks bebas dapat menggerogoti kedaulatan negara. 

Tentu untuk kawan-kawan yang tidak paham mengenai geopolitik akan kebingungan, kenapa hubungan pribadi bisa berdampak kepada pertahanan dan keamanan negara? Penulis akan menjelaskan dengan logika runut agar mudah dipahami, terutama dengan perspektif Nation Rights.

Perilaku seks bebas yang aman mengakibatkan orang-orang tidak memerlukan sesuatu hal yang legal untuk memuaskan nafsu mereka. Secara singkat, melakukan seks tidak perlu melalui jalur pernikahan. Orang-orang dengan bebas berhubungan dengan pekerja seks di prostitusi, atau modal sedikit untuk merayu teman wanitanya agar mau diajak berhubungan secara gratis. 

Otomatis, angka pernikahan semakin rendah dan keluarga semakin menyusut. Akhirnya, karena tidak ada keluarga maka bayi yang seharusnya lahir dari pasangan suami istri juga menurun. Momok inilah yang sedang dihadapi oleh negara Jepang dan Korea Selatan, yaitu krisis demografi.

Pada kasus Korea Selatan, ada fenomena mengenai generasi sampo. Generasi ini tidak menginginkan mempunyai anak lebih dari satu. Bahkan lebih buruk lagi, mereka enggan untuk terikat dalam pernikahan yang sah dan lebih memilih jalur wanita karir. 

Hubungan seksual dapat mereka lakukan dengan siapa saja selama ada sexual consent, yakni suka sama suka tanpa paksaan. Dalam sensus 2015, kurang dari seperempat (23%) wanita Korea Selatan berusia 25 hingga 29 tahun yang mengatakan mereka sudah menikah, turun tajam dari sebanyak 90% dibanding tahun 1970. Angka kesuburan di Korea Selatan terus menurun. 

Antara awal 1950-an dan 2019, tingkat kesuburan di Korea Selatan turun dari 5,6 menjadi 1,1 anak per wanita. Pada kasus Jepang, muncul fenomena tentang shoushika. Fenomena ini merujuk pada menurunnya jumlah kelahiran yang terjadi di Jepang. 

Artinya, Jepang sedang mengalami krisis angka kelahiran anak dan berimplikasi terhadap perlambatan pertumbuhan populasi penduduk. Dampak yang dihadapi pemerintah Jepang juga serius, yakni bertambahnya biaya untuk perawatan lansia. Berbagai fasilitas juga terancam ditutup karena kota dan desa akan semakin sepi. Jika terus begini, penduduk Jepang diperkirakan hanya tinggal 28 juta jiwa pada 2065. 

Untuk sebuah negara yang besar, tentu penyusutan penduduk terutama usia produktif, akan mengurangi angkatan kerja. Agar industry tetap berjalan di berbagai sektor, pemerintah tentu terpaksa membuka keran bagi tenaga kerja asing untuk berkarir dan menggerakkan roda ekonomi. 

Penyusutan penduduk, artinya juga mengurangi suplai tentara. Sedikit penduduk akan memberi kesempatan bangsa besar yang lain untuk melakukan invasi terhadap negara yang terkena krisis demografi. Kemungkinan terburuk, bangsa asli negara tersebut bisa mengalami kepunahan dan tinggal cerita. 

Maka teranglah kebenaran agama, yang dalam maqashid syari’ah-nya memiliki tujuan diantaranya untuk menjaga nyawa dan keturunan. Sudah tegas larangan Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 32 yang berbunyi :
“Dan Janganlah Kalian Mendekati Zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra : 32)
Islam hanya memberikan jalur pernikahan untuk menyalurkan kebutuhan biologis. Sebagaimana tercantum di dua hadits Nabi SAW yaitu :
“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah no. 1846)
“Saya belum pernah melihat solusi untuk dua orang yang saling jatuh cinta, selain nikah” (HR. Ibnu Majah no. 1847)

Seks bebas adalah penyimpangan sosial yang berdampak kepada penyakit medis dan kedaulatan negara. Budaya buruk yang berasal dari budaya transnasional ini tentu masih dinikmati oleh remaja. Hal ini karena kurangnya pendidikan agama, nilai ketimuran, dan moral Pancasila. Maka perlu sosialisasi lebih luas tentang edukasi seks berlandaskan fikih Islam, bukan dari logika barat yang mendahulukan hasrat syahwat.
______________

(Penulis adalah Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Demisioner Kepala Departemen Keagamaan Badan Eksekutif Mahasiswa ULM periode 2018, demisioner anggota LDK Unit Kerohanian Mahasiswa Muslim (UKMM) ULM,  anggota Angkatan Muda Masjid As-Sa’adah 2016-2017, Komisi D FSLDK 2020-2021, Founder media dakwah @majaliskita)

Sumber :
HR. Ibnu Majah no. 1846, Silsilah Ash Shahihah no.2383 dishahihkan Al Albani 
HR. Ibnu Majah no. 1847, Mushannaf Ibn Abi Syaibah no.15915 dishahihkan Al-Albani
Situasi Umum HIV/AIDS dan Test HIV Berdasarkan Laporan SIHA Tahun 2013-2017. Pusat Data dan Informasi Kementerian dan Kesehatan RI.
Amelia, Anggita. (2019). 5 Dampak yang Mengancam Jepang Akibat Fenomena Shoushika. (https://www.idntimes.com/opinion/social/anggita-rezki-a/opini-5-dampak-yang-mengancam-jepang-akibat-fenomena-shoushika-c1c2/5) 
Quick, Miriam. (2019). Korsel Alami Masalah Populasi, Warganya Enggan Menikah dan Punya Anak. (https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-50093398) 
Wiryono, Singgih. (2019). Negara Anggarkan Rp 400 Miliar untuk Obat HIV/AIDS. (https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/18/18065281/negara-anggarkan-rp-400-miliar-untuk-obat-hiv-aids.)

Foto: berbagai sumber

No comments

close
pop up banner