Header Ads

Netizen Menghujat Ijtima’ Ulama MUI: Matinya Kepakaran

IJTIHAD adalah sebuah usaha sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Itulah usaha yang akan dilakukan oleh para Sahabat ketika Baginda Rasulullah SAW bertanya bagaimana jika beliau meninggal suatu saat nanti. Baginda Rasulullah SAW menanyakan kepada Sahabat Mu’adz RA, bagaimana jika ada sesuatu permasalahan yang secara spesifik tidak terdapat di dalam AL-Qur’an dan Sunnah? Maka Sayyidina Mu’adz RA menjawab akan memutuskan dengan pendapatnya dengan mengambil prinsip dari Al-Qur’an dan Sunnah. Baginda Rasulullah SAW pun menepuk bangga kepadanya. (HR. Al-Baihaqi No. 3250)

foto: ottomanpictures
-------------------------------------------------------

Oleh : Muhammad Sultan Hasan Saputra

Artikel kolaborasi majalis.id dan kalselgram.com

Begitulah tradisi para ulama selama berabad-abad. Dalam memecahkan persoalan fiqih yang selalu berkembang mengikuti arus perkembangan zaman, maka ulama senantiasa memperbaharui ijtihadnya untuk mencari solusi terbaik. Ijtihad tentu bertujuan sebagai upaya mencari kemashlahatan bagi umat. Dalam berijtihad, ulama biasanya tidak bertindak sendirian. Para ulama biasanya berkumpul di dalam suatu forum yang bernama Ijtima’.

Tradisi ijtima’ ini sudah menjadi kebiasaan, terutama bagi para ulama di Indonesia. Para orang tua kita di MUI juga melaksanakan Ijtima’ Ulama. Di tahun ini, Ijtima’ Ulama dilaksanakan di Hotel Sultan, Jakarta pada tanggal 7 November 2021 hingga 11 November 2021. Para ulama yang berkumpul disini tentunya bukan para ulama sembarangan. Mereka berasal dari perwakilan Ormas Islam, Pondok Pesantren, Perguruan Tinggi dan berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Musyawarah forum fatwa ini dibuka oleh KH Miftahul Akhyar selaku Ketua Umum dan berjalannya acara dipimpin oleh KH Asrorun Niam Sholeh selaku Ketua Bidang Fatwa.

Dalam forum tersebut, Ijtima Ulama ke-7 Komisi Fatwa MUI ini telah menyepakati 12 poin bahasan. Poin-poin bahasan tersebut, yakni makna jihad, makna khilafah dalam konteks NKRI, kriteria penodaan agama, tinjauan pajak bea cukai, dan retribusi untuk kepentingan kemaslahatan. Kemudian, panduan pemilu dan pemilukada yang lebih bermaslahat bagi bangsa, dan distribusi lahan untuk pemerataan dan kemaslahatan. Lalu, mengenai hukum pinjaman online, hukum transplantasi rahim, hukum cryptocurrency, penyaluran dana zakat dalam bentuk qardhun hasan, hukum zakat perusahaan, dan hukum zakat saham.

Dari keseluruhan hasil Ijtima’ Ulama yang diumumkan, ada dua hasil fatwa yang paling disoroti oleh netizen. Dua poin yang digugat tersebut ialah haramnya Cryptocurrency dan penolakan terhadap Permendikbudristek No 30 tahun 2021.

Masalah pertama adalah hukum haramnya Cruptocurrency. Sederhananya, cryptocurrency adalah mata uang digital yang bendanya tidak berbentuk fisik, namun murni virtual. Meskipun tidak bisa dilihat atau disentuh fisiknya, cryptocurrency memiliki nilai. Cryptocurrency dapat disimpan dalam 'dompet digital' di smartphone atau komputer. 

Menurut tinjauan MUI, yang disampaikan oleh KH Asrorun Niam Sholeh, Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram. Alasan keharamannya karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015. Cryptocurrency sebagai komoditi/aset digital juga tidak sah diperjualbelikan. 

Alasan karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i. kriteria sil’ah menurut syariat yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, ada hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli. Meskipun begitu, MUI masih membuka celah cryptocurrency sebagai komoditi/asset. Asalkan, uang digital tersebut memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas hukumnya, bisa jadi sah untuk diperjualbelikan.

Masalah kedua adalah terkait dengan Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. MUI memutuskan untuk menolak dan memberikan rekomendasi untuk merevisi peraturan tersebut. Penolakan ini disampaikan oleh KH Cholil Nafis. Beliau mengatakan bahwa keputusan tersebut adalah mewakili suara umat Muslim di Indonesia, dengan MUI sebagai representasinya. 

Permendikbudristek yang diteken Mendikbud Ristek Nadiem Makarim menjadi kontroversi karena disinyalir seolah melegalkan seks bebas atau zina. Hal ini terdapat pada penggunaan frasa di pasal 5 ayat 2 dan 3, yakni kekerasan seksual hanya akan ditindak dengan syarat ‘tanpa persetujuan korban’.  Frasa ‘tanpa persetujuan korban’ inilah yang dinilai akan membuka celah bolehnya perilaku seks bebas yang berdasarkan sexual consent. Konsep sexual consent yang menjadi jualan feminis-liberal ini tentu memiliki banyak masalah, terutama ketidakjelasan indikator di dalamnya.

Ketika dua wacana ini muncul dan disuarakan oleh MUI, muncul pula suara-suara miring di media sosial. Dari yang sudah terlanjur mendapat keuntungan dari cryptocurrency mencari celah untuk bisa mencari aspek kehalalannya. Para ‘bitcoin miners’ biasanya hanya menggerutu saja dan tidak terlalu memedulikan hal tersebut. Suara ini sepertinya tidak terlalu massif penolakannya. Protes yang paling keras tentu berasal dari permasalahan kedua, yakni terkait Permendikbud tentang kekerasan seksual. 

MUI sebenarnya hanya menyoal frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang bisa disalahpahami sebagai pintu masuk untuk seks bebas. Tetapi netizen dari pihak feminis malah menuding bahwa MUI berpihak kepada pelaku kekerasan seksual. Bahkan lebih kasar lagi mengatakan bahwa pihak yang menolak Permendikbud sebagai penjahat kelamin. Tuduhan ini tentu tidak sesuai substansi pembahasan masalah. Ujaran kebencian kepada MUI ini bahkan sampai kepada tahap mempertanyakan otoritas organisasi tersebut. Fenomena ini merupakan bentuk dari loss of adab kepada para Ulama.

Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise (Matinya Kepakaran) telah menjelaskan, bahwa Perkembangan teknologi, terutama media sosial dan smartphone, membuat hal itu sebuah keniscayaan. Mungkin tak terlalu bermasalah bila semua orang sekadar merasa paling tahu sesuatu lantas menyebarkannya. Tom memberi perumpamaan, bahwa kerumunan netizen di media sosial seperti para penonton sepakbola. Andaikan ada lima puluh ribu penonton sepakbola, maka sebanyak lima puluh ribu itu adalah pakar dalam sepakbola. Semua orang bisa membikin opini dan menyebarluaskannya.

Fenomena penolakan ini bisa dikatakan sebagai bagian dari konsekuensi era distrupsi yang muncul di Internet. Semua orang dengan bebasnya bercuit, mengemukakan opini, dan kritik bebas. Persona akun media sosial memang agak sulit untuk diidentifikasi, kecuali dia menuliskan dengan detail deskripi profil akunnya. Maka kita akan mudah melihat seorang penyanyi atau pelawak dengan entengnya menjegal mentah-mentah hasil pemikiran kumpulan ulama dan cendikiawan yang sudah bersusah payah. Untuk mengeluarakn sebuah fatwa tentu tidak semudah mengetik di smartphone. Dalam merumuskan hasil fatwa, para ulama harus mengurai masalah, menyusun hasil penelitian, dan mengeluarkan kesimpulan hasil fatwa beserta rekomendasinya. Tentu hal ini bukan pekerjaan mudah, apalagi untuk mendapatkan satu kata mufakat dari seluruh peserta forum.

Allah SWT di dalam Al-Qur’an telah meneguhkan peran ulama ini sebagai sosok yang objektif. Semua keputusan yang dikeluarkan tetntulah berdasarkan ilmu. Hal ini karena adanya tanggung jawab keilmuan yang nantinya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Hanya para ulama yang takut kepada Allah SWT:

            “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah             ulama…” (QS. Fatir: 28)

Baginda Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Yang dimaksud warisan disini bukanlah benda pusaka atau harta kekayaan. Warisan yang dimaksud adalah pemahaman tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Transmisi keilmuan yang menjamin kemurnian imu agama ini dijaga melalui melalui sanad keilmuan. Imam Abdullah bin Mubarak, seorang ulama di era tabi’in sampai mengatakan bahwa sanad ini adalah bagian dari agama. Kalau tidak ada sanad, tentu manusia akan bebas berbicara sekehendak hatinya, bahkan orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan.

Sebagai umat Islam yang memegang teguh syariat, kita dihadapkan pada dua pilihan. Apakah kita berpihak kepada para Ulama yang sudah mapan kapasitas keilmuannya, atau berpihak kepada artis di media sosial? Apakah kita akan taat dengan dalil dan mengedepankan sikap wara’, atau cenderung mengikuti hawa nafsu dan logika sesat?

(Penulis adalah Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP ULM, Komisi D FSLDK Kalsel, Inisiator Gerakan Bangkit Generasi Bangsa, Founder media dakwah Majalis.id)

*Isi menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.


Referensi :

HR. Al-Baihaqi No. 3250

Nichols, Tom. (2018). Matinya Kepakaran: Perlawanan Terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Yunus. Mahmud. (1972). Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung.

Arrasyid, Azim. (2021). Tak Sesuai Syariah, MUI Pusat Minta Permendikbudristek No 30 Dicabut. (https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2021/11/11/219676/mui-permendikbudristek-no-30-dicabut.html)

Nursalikah, Ani. (2021). MUI: Ijtima Ulama Musyawarah untuk Kemaslahatan Umat. (https://www.republika.co.id/berita/r2gfsd366/mui-ijtima-ulama-musyawarah-untuk-kemaslahatan-umat)

Redaksi MUI. (2021). Keputusan Fatwa Hukum Uang Kripto atau Cryptocurrency. (https://mui.or.id/berita/32209/keputusan-fatwa-hukum-uang-kripto-atau-cryptocurrency/)

Sinuhaji, Julkifli. (2021). Hasil Ijtima Ulama MUI Menolak Permendikbudristek No 30/2021, Cholil Nafis: Ini Suara Kami Umat Muslim. (https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-012999453/hasil-ijtima-ulama-mui-menolak-permendikbudristek-no-302021-cholil-nafis-ini-suara-kami-umat-muslim)

Tamtomo, Akbar Bhayu. (2021). INFOGRAFIK: Mengenal Apa Itu Kripto atau Cryptocurrency. (www.kompas.com/tren/read/2021/11/13/125100165/infografik--mengenal-apa-itu-kripto-atau-cryptocurrency.) 


No comments

close
pop up banner