Header Ads

Mengkritik Logika Mistika Tan Malaka di Buku Madilog

Oleh: Muhammad Sultan Hasan

(Kutipan dari buku Majalis dan Dakwah Digital: Renungan Pemikiran dari Masa Manuskrip Hingga Peramban, Pemikiran Kelima: Islam dan ‘Kiri’, Bak Air dan Minyak)

Mendekati tanggal 30 September, tentu kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kenangan getir nan pahit saat mengingat tanggal itu. Tanggal itu adalah puncak upaya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI).

Peristiwa itu lebih familiar dengan sebutan G 30 S PKI. Trauma masa lalu itulah yang menyebabkan ideologi komunis dilarang dalam TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Hingga sekarang sudah banyak kiranya tulisan tentang peristiwa tersebut. 

Penulis kali ini ingin fokus kepada hal lain yakni tentang pemikiran tokoh awal komunis Indonesia, Tan Malaka tentang logika mistika di buku Madilog.

Sedikit penulis meminta izin untuk melawan pemikiran tersebut. Dikatakanlah pangkal kemunduran peradaban kita dikarenakan masih percaya dewa-dewa, arwah leluhur, dan kekuatan ghaib lainnya akan menolong kita daripada malapetaka. 

Maka apakah ketika kita meminta tolong, bertawakkal dan berpasrah diri kepada Allah ta’ala adalah bentuk kesia-siaan? Padahal Allah ta’ala pun ketika memerintahkan hamba-Nya agar senantiasa bertawakkal juga diiringi oleh ikhtiar yang tulus. 

Maka apabila kita tidak mempercayai kekuatan Allah ta’ala, zat yang maha agung, yang tiada pernah kita gapai dengan akal semata, maka gugurlah iman. Ditambah lagi jika tidak mempercayai takdir. Maka barang tentu seminimalnya kita malah menjadi kaum qodariyyah, ingkar takdir keluar dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. 

Maka tidak mungkin pula seorang Islam yang teguh mengingkari sifat qudrat dan iradat nya Allah ta’ala dalam sifat duapuluh sebagai ‘logika mistika’ yang harus dicampakkan.
Paradigma ‘logika mistika’ ini pulalah yang mengatakan apabila kita masih bergantung kepada zat ghaib, maka tiada maju peradaban kita. Akan tertinggallah dari segala segi, terutama pengetahuan. Maka mulailah ditinggalkan dogma agama, menuju kecemerlangan ilmu pengetahuan. 

Sungguh ini tidak bisa diterima oleh penulis yang sangat konservatif. Padahal, menurut Prof. Nanat Fatah Natsir, kemunduran umat Islam dikala mulai memisahkan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Pada zaman kegemilangannya, mercusuar ilmu malah tumbuh berseri di peradaban Islam. Dari ujung Andalus, ke Alexandria, ke Istanbul, ke Bukhara, ke Baghdad, hingga ke Mughal. Tak terhitung karya ilmuwan Muslim yang mereka adalah ulama, tetapi juga master di ilmu botani, geografi, sosiologi, astronomi, oseanografi, zoology, matematika, kimia, fisika, teknik, robotika, dan cabang ilmu lainnya. Kita ketahui bahwa nama-nama Ibnu Khaldun, Aljabar, Al-Khawarizmi, Jabir Ibnu Hayyan, dan banyak nama lain yang gemilang nama mereka, dijadikan rujukan ilmu pengetahuan di universitas Barat sana. 
Bahkan salah satu cendikiawan bernama B.J Habibie adalah salah satu ilmuwan di bidang aerofisika yang menemukan teori crack. 

Beliau ialah seorang Muslim sekaligus presiden ketiga Negara Indonesia. Sudah terbukti bahwa beliau adalah seorang yang jenius, memiliki IQ 200. Lantas, apakah B.J. Habibie meninggalkan agama karena kejeniusan beliau tersebut? Jawabannya dapat kita lihat di ungkapan beliau:
“Saya sering mengatakan, kalau Allah, hey Bacharuddin sini. Kamu boleh pilih. Hanya boleh pilih. Imtaq (iman dan taqwa) atau iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), sekarang pilih tak boleh dua-dua. Saya sekejap mengatakan, saya imtaq. Tapi Allah, kalau Kamu perkenankan, kasih saya dua-duanya dalam keadaan yang seimbang dan berikan kemampuan saya untuk meningkatkan kedua-duanya sepanjang masa. Dan saya beruntung, Allah memberikan dua-duanya…” 

Beliau juga di satu kesempatan pernah mengkritik orang-orang atheis sebagai sosok yang arogan. Maka betullah firman Allah ta’ala bahwa sesungguhnya dibalik penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, adalah terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. 

Sudah tepat apa yang dilakukan oleh ulama-ulama kita yang cerdik pandai. Disusunlah amanat konstitusi dalam pembukaan UUD 45 itu nafasnya bernapas Islam. Bukan hanya sekadar Islam, akan tetapi Islam yang Ahlussunnah wal Jama’ah. Islam yang moderat dari segi pemikiran. Buktinya adalah pada kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur… ”. Kalimat pertama menyatakan bahwa tidaklah merdeka Negara Indonesia ini kecuali dikarenakan berkat dari Allah ta’ala. 

Namun takdir kemerdekaan ini pula terwujud karena ikhitar berupa keinginan luhur dari para pejuang dan pendiri bangsa. Maka dua pernyataan tersebut sekaligus menolak paham qadariyyah dan paham jabariyyah. Tidak merasa sombong akan pemberian Tuhan, akan tetapi juga tidak berlemah-lemah berpasrah pemberian Tuhan tanpa ber-ikhtiar. 

Karena adalah ciri seorang yang beriman selalu menyandarkan segala sesuatu kepada Allah ta’ala. Maka terang pula teori ‘logika mistika’ Tan Malaka tidak sesuai dengan nilai luhur dan jati diri Muslim Indonesia.
Anehnya, walaupun menganggap agama adalah candu dan dianggap sebagai sebab kemunduran bangsa, ini dilanggar pula oleh penganut komunis. Pengkultusan tokoh, berlutut dan bersujud di depan foto atau gambar pembesar tersebut. 

Disediakan pula dupa dan sesajen di bawah patungnya layaknya kepercayaan Pagan Kuno. Mengingatkan kita pada zaman Firaun dan Namrudz. Mereka seolah menentang tesis mereka sendiri. Bagai menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

(Penulis adalah Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Demisioner Kepala Departemen Keagamaan Badan Eksekutif Mahasiswa ULM periode 2018, demisioner anggota LDK Unit Kerohanian Mahasiswa Muslim (UKMM) ULM,  anggota Angkatan Muda Masjid As-Sa’adah 2016-2017, Komisi D FSLDK 2020-2021, Founder media dakwah @majaliskita)

Referensi :
Kaelan. (2014). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Malaka, Tan. (2016). Madilog: Matrealisme, Dialektika dan Logika. Yogyakarta: Narasi.
Natsir, Nanat Fatah. 2012. The Next Civilization Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban Dunia. Jakarta: Media Maxima.
Ceramah Umum B.J. Habibie di Kairo, Mesir  
Presentasi Prof. Salim T.S. Al-Hassani (Chief Editor 1001 Inventions) di National Geography Live 2012
Tausyiah KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha)

Foto: net

*isi menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis di luar redaksi.

No comments

close
pop up banner